Tabayyun.co.id,JAKARTA, — Jurusan ilmu komputer yang sebelumnya menjadi primadona di kalangan mahasiswa, kini tengah mengalami penurunan minat seiring dengan meningkatnya angka pengangguran di sektor tersebut. Laporan terbaru mengungkapkan bahwa lulusan jurusan ini kini menghadapi kenyataan pahit di pasar kerja, terutama di Amerika Serikat.
Berdasarkan data dari Federal Reserve Bank of New York, ilmu komputer tercatat sebagai jurusan sarjana dengan tingkat pengangguran tertinggi ketujuh, yaitu sebesar 6,1 persen. Kondisi ini menggeser persepsi lama bahwa lulusan ilmu komputer dijamin masa depan cerah dan stabil.
Sejumlah perusahaan teknologi raksasa seperti Amazon dan Google juga telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, memperparah kondisi pasar kerja bagi lulusan di bidang ini.
“Setiap anak dengan laptop berpikir mereka adalah [Mark] Zuckerberg berikutnya, tapi kebanyakan tidak bisa memperbaiki bug bahkan dari kantong kertas,” kata Michael Ryan, pakar keuangan, dikutip dari Newsweek.
Meskipun ilmu komputer sempat dinobatkan sebagai jurusan kuliah terbaik oleh Princeton Review, kenyataan di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realita. Beberapa jurusan lain seperti antropologi dan fisika bahkan mencatatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi, masing-masing 9,4 persen dan 7,8 persen.
Jurusan teknik komputer yang banyak memiliki kesamaan materi dengan ilmu komputer juga mencatat angka pengangguran cukup tinggi sebesar 7,5 persen.
Sementara itu, jurusan yang lebih praktikal seperti ilmu gizi, teknik sipil, dan layanan konstruksi justru mencatatkan tingkat pengangguran terendah, dengan kisaran 0,4 hingga 1 persen. Data tersebut dikumpulkan dari hasil analisis sensus tahun 2023 oleh The New York Fed.
“Mahasiswa jurusan ilmu komputer telah lama dijanjikan mimpi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pilih jurusan yang ‘tepat’, bekerja keras, dan kamu akan mendapatkan pekerjaan yang stabil dan bergaji tinggi,” ujar Bryan Driscoll, konsultan SDM.
“Namun, sama seperti banyak jurusan dan pekerjaan terkait lainnya, kenyataan yang dihadapi sangat keras – terlalu banyak lulusan, tidak cukup pekerjaan, utang mahasiswa yang membebani, dan pasar yang lebih mengutamakan latar belakang daripada potensi,” tambahnya.
Kondisi tersebut juga diamini oleh CEO Nvidia, Jensen Huang. Dalam wawancara pada Juli lalu, ia mengatakan bahwa jika dirinya baru lulus kuliah sekarang, ia tidak akan memilih jurusan teknologi informasi atau perangkat lunak, melainkan ilmu fisika.
“Untuk Jensen yang masih muda, berusia 20 tahun, yang sudah lulus sekarang, dia mungkin akan memilih … lebih memilih ilmu fisika daripada ilmu perangkat lunak,” ujar Huang, melansir CNBC.
Menurut Huang, perkembangan terbaru di bidang kecerdasan buatan (AI) telah memasuki fase yang lebih kompleks, yaitu Reasoning AI atau AI Penalaran, setelah melewati fase Perception AI dan Generative AI.
“Kita sekarang berada di era yang disebut ‘Reasoning AI’, di mana AI kini dapat memahami, menghasilkan, [dan] memecahkan masalah dan mengenali kondisi yang belum pernah kita lihat sebelumnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa AI yang mampu memahami logika dan fisika akan memainkan peran besar dalam pengembangan robotika ke depan. Hal ini penting untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja global melalui otomatisasi.
“Jadi mudah-mudahan, dalam 10 tahun ke depan, saat kami membangun pabrik dan pabrik generasi baru ini, mereka sangat robotik dan membantu kami mengatasi kekurangan tenaga kerja yang parah yang kami alami di seluruh dunia,” pungkasnya.