Tabayyun.co.id, JAKARTA — Rencana pengalihan pembiayaan tipping fee Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) ke dalam tarif listrik PLN menimbulkan kekhawatiran baru terhadap stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah dinilai perlu menyediakan dana kompensasi dalam jumlah besar agar proyek-proyek PLTSa tetap berjalan tanpa menimbulkan tekanan baru pada keuangan PLN.
Associate Director BUMN Research Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebut pergeseran beban ini perlu dikaji dengan serius agar tidak merusak struktur fiskal nasional.
“Mekanisme ini mengubah beban tadinya di APBD ke APBN, masalahnya seberapa kuat subsidi APBN ke proyek ini [listrik sampah],” kata Toto saat dihubungi, Kamis (28/8/2025).
Toto menekankan bahwa skema kompensasi yang dirancang pemerintah harus memperhatikan kemampuan PLN menjaga arus kasnya, terlebih proyek ini tergolong mahal dan tidak masuk kategori energi terbarukan.
Pemerintah Tetap Ingin Sampah Tertangani
Meski tidak termasuk dalam klasifikasi energi baru terbarukan (EBT), pemerintah tetap memandang proyek ini sebagai solusi pengelolaan limbah di kota-kota besar.
“Mesti ada keberpihakan APBN untuk investasi ini, meskipun tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai renewable energy,” lanjut Toto.
Menurut simulasi PLN, proyek ini berpotensi menyedot kompensasi hingga Rp8,35 triliun setiap tahun. Angka tersebut berasal dari estimasi 15 proyek PLTSa yang sudah dirancang, dan sembilan proyek lain yang tengah diusulkan pemerintah daerah.
PLN Minta Kepastian Dana
Dalam bahan presentasi yang diperoleh Bloomberg Technoz, PLN meminta adanya kepastian kompensasi sebelum beban tipping fee dialihkan dari pemerintah daerah ke tarif listrik.
Selain itu, PLN juga mengusulkan kenaikan batas atas harga listrik PLTSa menjadi US$22 sen per kWh, dari sebelumnya US$13,35 sen.
Skema baru tersebut belum tercantum dalam regulasi sebelumnya, yakni Perpres Nomor 35 Tahun 2018, yang masih mengatur tipping fee dibayar melalui APBD.
PLTSa Dikhawatirkan Tidak Kompetitif
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai tarif listrik dari pengolahan sampah tergolong tinggi jika dibandingkan dengan sumber EBT lain seperti tenaga surya atau panas bumi.
“Dorongan memasukkan PLTSa sebagai beban PLN sudah terindikasi cukup lama dalam berbagai dokumen kebijakan dan kajian KPK di 2020 juga menunjukkan beratnya beban melibatkan PLN,” ujar Putra.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya menyelesaikan skema pendanaan proyek ini secara tuntas dan tidak menyerahkannya sepenuhnya ke PLN.
“Apapun solusi sampahnya diperlukan perbandingan transparan dan jika insinerator memang solusinya maka pemerintah perlu mentuntaskannya tanpa perlu membebani PLN,” kata dia.
Belum Semua Proyek Beroperasi
Sementara itu, Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN IP, Bernardus Sudarmanta, menyatakan PLN IP akan berperan sebagai pengembang proyek PLTSa setelah peraturan presiden terbaru diterbitkan.
“PLN IP akan menjadi bagian dari developer saja. Mengenai jumlah proyek belum ada kepastian,” katanya.
Hingga semester I-2025, PLN sudah meneken perjanjian jual beli listrik (PJBL) untuk empat proyek: PLTSa Palembang, Sunter, Surabaya, dan Surakarta. Namun, hanya dua proyek yang telah beroperasi: PLTSa Benowo (9 MW) di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo (5 MW) di Solo.
Pemerintah belum memberikan tanggapan resmi atas permintaan konfirmasi mengenai kompensasi proyek ini.