Tabayyun.co.id,JAKARTA — Tidak banyak yang mengetahui bahwa tokoh di balik perumusan upacara pengibaran bendera pusaka serta pendiri Paskibraka adalah seorang Habib. Ia adalah Habib Muhammad bin Husein al-Mutahar, yang lebih dikenal sebagai Husein Mutahar, kelahiran Semarang, 5 Agustus 1916.
Selama hidupnya, Mutahar mencurahkan energi dan pikiran untuk kepentingan bangsa. Ia dikenal sebagai nasionalis sejati dengan kontribusi besar di bidang protokoler, pendidikan, musik, dan diplomasi.
Pendidikan dan Perjuangan Awal
Mutahar mengawali pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS), lalu berlanjut ke MULO dan Algemene Middelbare School di Yogyakarta. Selain pendidikan formal, ia juga menimba ilmu agama, termasuk mengaji Al-Qur’an dan nyantri, sebelum kemudian sempat kuliah di Fakultas Hukum UGM.
Namun, masa mudanya tak bisa terlepas dari perjuangan kemerdekaan. Ia terlibat langsung dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang dan sempat menjadi sekretaris Panglima Angkatan Laut RI. Saat Belanda melancarkan agresi militer, Mutahar dipercaya menyelamatkan bendera pusaka dengan cara menyobeknya menjadi dua agar tidak direbut. Setelah kondisi kondusif, ia menjahitnya kembali.
Cikal Bakal Paskibraka
Pada tahun 1946, dalam situasi genting pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno meminta Mutahar merancang prosesi pengibaran bendera merah putih di Yogyakarta. Ia pun menggagas agar pengibar bendera berasal dari pemuda-pemudi lintas daerah sebagai simbol persatuan nasional.
Kala itu, upacara perdana dilakukan oleh lima anak muda: dua pria dan tiga wanita.
“Kelima pemuda yang bertugas… merepresentasikan 5 sila dalam Pancasila,” tulis Detik (2024).
Gagasan ini menjadi dasar pembentukan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto memintanya menyempurnakan formatnya menjadi formasi 17-8-45: 17 pengiring, 8 pembawa bendera, dan 45 pengawal. Formasi ini masih diterapkan hingga kini.
Kiprah di Dunia Diplomasi dan Musik
Tak hanya dikenal karena Paskibraka, Mutahar juga punya rekam jejak kuat di jalur diplomatik. Ia pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Vatikan (1969–1973) serta Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri pada 1974.
Kemampuannya berbahasa asing menunjang perannya dalam diplomasi internasional. Namun publik lebih mengenalnya sebagai pencipta lagu-lagu kebangsaan. Ia menggubah lagu legendaris seperti “Syukur” (1945), “Hari Merdeka” (1946), dan “Dirgahayu Indonesiaku” (1995), serta lagu “Hymne Pramuka” dan puluhan lagu anak-anak.
Meski namanya dikenal luas, tidak banyak yang mengetahui latar belakang keturunannya sebagai seorang Habib.
“Masyarakat luas tak tahu kalau beliau Habib (keturunan Nabi Muhammad SAW)…,” tulis Biografi Tokoh Ternama (2019).
Warisan dan Penghormatan
Mutahar tidak menikah, namun ia mengangkat delapan anak asuh—enam laki-laki dan dua perempuan—yang dibesarkannya dengan kasih. Ia juga merupakan paman dari ulama besar Semarang, Habib Umar Mutahar.
Atas dedikasinya, pemerintah menganugerahkan Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra Pratama. Husein Mutahar wafat pada 9 Juni 2004 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.